Sejarah Khanduri Apam (Kenduri Serabi) Tradisi Masyarakat Aceh- Khanduri atau dalam bahasa melayunya kenduri merupakan hal yang sangat sakral dilakukan oleh masyarakat Aceh Pidie dan masyarakat Aceh lainnya. Khanduri dilakukan jika suatu pelaksanaan berhasil dilakukan dan pada musibah seperti meninggalnya seseorang. Contoh berhasil pelaksanaan menang dalam permainan, sukses naik pangkat, dapat jabatan baru, kenduri anak yatim dan lain-lain.
Khanduri Apam (Kenduri Serabi) |
Sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Aceh untuk mengadakan Khanduri Apam pada bulan Apam. Kegiatan toet apam (memasak apam) dilakukan oleh kaum ibu di gampoeng (kampung). Biasanya dilakukan sendirian atau berkelompok. Pertama sekali yang harus dilakukan untuk memasak apam adalah top teupong breuh bit (menumbuk tepung dari beras nasi). Tepung tersebut lalu dicampur santan kelapa dalam sebuah beulangong raya (periuk besar). Campuran ini direndam paling kurang tiga jam, agar apam yang dimasak menjadi lembut. Adonan yang sudah sempurna ini kemudian diaduk kembali sehingga menjadi cair. Cairan tepung inilah yang diambil dengan aweuek/iros untuk dituangkan ke wadah memasaknya, yakni neuleuek berupa cuprok tanoh (pinggan tanah).
Cerita dulu sih, Apam tidak dimasak dengan kompor atau kayu bakar, tetapi dengan on ‘ue tho (daun kelapa kering). Malah orang-orang percaya bahwa Apam tidak boleh dimasak selain dengan on ‘ue thoini karena berpengaruh pada rasa. Masakan Apam yang dianggap baik, yaitu bila permukaannya berlubang-lubang sedang bagian belakangnya tidak hitam dan rata (tidak bopeng). Apam paling sedap bila dimakan dengan kuahnya, yang disebut kuah tuhe, berupa masakan santan dicampur pisang klat barat(sejenis pisang raja) atau nangka masak serta gula. Bagi yang alergi kuah tuhe mungkin karena luwihnya (gurih), kue Apam dapat pula dimakan bersama kukuran kelapa yang dicampur gula. Bahkan yang memakan Apam saja (seunge Apam), yang dulu di Aceh Besar disebut Apam beb. Selain dimakan langsung, dapat juga Apam itu direndam beberapa lama ke dalam kuahnya sebelum dimakan. Cara demikian disebut Apam Leu’hop (Apam Basah). Setelah semua kuahnya habis dihisap barulah Apam itu dimakan.
Dalam kenduri tersebut, apam yang telah dimasak bersama kuah tuhe siap dihidangkan kepada para tamu yang sengaja dipanggil/diundang ke rumah dan disuatu tempat. Dan siapapun yang lewat/melintas di depan rumah, pasti sempat menikmati hidangan Khanduri Apam ini. Bila mencukupi, kenduri Apam juga diantar ke Meunasah (surau di Aceh) serta kepada para keluarga yang tinggal di kampung lain. Begitulah, acara toet Apam diadakan dari rumah ke rumah atau dari kampung ke kampung lainnya selama buleuen Apam (bulan Rajab) sebulan penuh.
Tradisi Khanduri Apam ini adalah berasal dari seorang sufi yang amat miskin di Tanah Suci Mekkah. Si miskin yang bernama Abdullah Rajab adalah seorang zahid yang sangat taat pada agama Islam. Berhubung amat miskin, ketika ia meninggal tidak satu biji kurma pun yang dapat disedekahkan orang sebagai kenduri selamatan atas kematiannya. Keadaan yang menghibakan / menyedihkan hati itu, ditambah lagi dengan sejarah hidupnya yang sebatangkara, telah menimbulkan rasa kasihan masyarakat sekampungnya untuk mengadakan sedikit kenduri selamatan di rumah masing-masing. Mereka memasak Apam untuk disedekahkan kepada orang lain. Itulah dasar dari tradisi toet Apam (memasak Apam) yang sampai sekarang masih dilaksanakan masyarakat Aceh.
Selain pada buleuen Apam (bulan Rajab), kenduri Apam juga diadakan pada hari kematian. Ketika si mayat telah selesai dikebumikan, semua orang yang hadir dikuburan disuguhi dengan kenduri Apam. Apam di perkuburan ini tidak diberi kuahnya. Hanya dimakan dengan kukuran kelapa yang diberi gula (di lhok ngon u). Khanduri Apam juga dilaksanakan pada upacara Tepung Tawar (peusijuek), seperti Khanduri Blang (kenduri sawah), Acara Maulid Nabi Muhammad SAW, dan diacara Khanduri La'ot ( kenduri Laut ).
Bahkan baru – baru ini, ada usulan untuk menerapkan khanduri apam itu ditujukan kepada laki-laki yang tidak shalat Jum’at ke mesjid tiga kali berturut-turut, sebagai dendanya diperintahkan untuk membuat kue apam sebanyak 100 buah untuk diantar ke mesjid dan dikendurikan (dimakan bersama-sama) sebagai sedekah. Dengan semakin seringnya orang membawa kue apam ke mesjid akan menimbulkan rasa malu karena diketahui oleh masyarakat bahwa orang tersebut sering meninggalkan shalat Jum’at.
Cerita dulu sih, Apam tidak dimasak dengan kompor atau kayu bakar, tetapi dengan on ‘ue tho (daun kelapa kering). Malah orang-orang percaya bahwa Apam tidak boleh dimasak selain dengan on ‘ue thoini karena berpengaruh pada rasa. Masakan Apam yang dianggap baik, yaitu bila permukaannya berlubang-lubang sedang bagian belakangnya tidak hitam dan rata (tidak bopeng). Apam paling sedap bila dimakan dengan kuahnya, yang disebut kuah tuhe, berupa masakan santan dicampur pisang klat barat(sejenis pisang raja) atau nangka masak serta gula. Bagi yang alergi kuah tuhe mungkin karena luwihnya (gurih), kue Apam dapat pula dimakan bersama kukuran kelapa yang dicampur gula. Bahkan yang memakan Apam saja (seunge Apam), yang dulu di Aceh Besar disebut Apam beb. Selain dimakan langsung, dapat juga Apam itu direndam beberapa lama ke dalam kuahnya sebelum dimakan. Cara demikian disebut Apam Leu’hop (Apam Basah). Setelah semua kuahnya habis dihisap barulah Apam itu dimakan.
Dalam kenduri tersebut, apam yang telah dimasak bersama kuah tuhe siap dihidangkan kepada para tamu yang sengaja dipanggil/diundang ke rumah dan disuatu tempat. Dan siapapun yang lewat/melintas di depan rumah, pasti sempat menikmati hidangan Khanduri Apam ini. Bila mencukupi, kenduri Apam juga diantar ke Meunasah (surau di Aceh) serta kepada para keluarga yang tinggal di kampung lain. Begitulah, acara toet Apam diadakan dari rumah ke rumah atau dari kampung ke kampung lainnya selama buleuen Apam (bulan Rajab) sebulan penuh.
Tradisi Khanduri Apam ini adalah berasal dari seorang sufi yang amat miskin di Tanah Suci Mekkah. Si miskin yang bernama Abdullah Rajab adalah seorang zahid yang sangat taat pada agama Islam. Berhubung amat miskin, ketika ia meninggal tidak satu biji kurma pun yang dapat disedekahkan orang sebagai kenduri selamatan atas kematiannya. Keadaan yang menghibakan / menyedihkan hati itu, ditambah lagi dengan sejarah hidupnya yang sebatangkara, telah menimbulkan rasa kasihan masyarakat sekampungnya untuk mengadakan sedikit kenduri selamatan di rumah masing-masing. Mereka memasak Apam untuk disedekahkan kepada orang lain. Itulah dasar dari tradisi toet Apam (memasak Apam) yang sampai sekarang masih dilaksanakan masyarakat Aceh.
Selain pada buleuen Apam (bulan Rajab), kenduri Apam juga diadakan pada hari kematian. Ketika si mayat telah selesai dikebumikan, semua orang yang hadir dikuburan disuguhi dengan kenduri Apam. Apam di perkuburan ini tidak diberi kuahnya. Hanya dimakan dengan kukuran kelapa yang diberi gula (di lhok ngon u). Khanduri Apam juga dilaksanakan pada upacara Tepung Tawar (peusijuek), seperti Khanduri Blang (kenduri sawah), Acara Maulid Nabi Muhammad SAW, dan diacara Khanduri La'ot ( kenduri Laut ).
Bahkan baru – baru ini, ada usulan untuk menerapkan khanduri apam itu ditujukan kepada laki-laki yang tidak shalat Jum’at ke mesjid tiga kali berturut-turut, sebagai dendanya diperintahkan untuk membuat kue apam sebanyak 100 buah untuk diantar ke mesjid dan dikendurikan (dimakan bersama-sama) sebagai sedekah. Dengan semakin seringnya orang membawa kue apam ke mesjid akan menimbulkan rasa malu karena diketahui oleh masyarakat bahwa orang tersebut sering meninggalkan shalat Jum’at.
Tag :
Sejarah Aceh,
Sejarah Perayaan
0 Komentar untuk "Sejarah Khanduri Apam (Kenduri Serabi) Tradisi Masyarakat Aceh"
Jangan lupa tinggalkan comment yaa :)